Shalawat
atas Nabi Saw. disyariatkan pada waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-
keadaan tertentu. Hal ini
telah dibicarakan panjang lebar oleh Ibn Al-Qayyim di dalam kitab
Jalâ ‘u al-Afhâm fî Fadhli al-Shalâti wa al-Salâmi ‘alâ Muhammad Khayr al-Anâm, Syaikh Islam Quthbuddin
al-Haydhari al-Syâfi’i
di dalam kitab Al-Liwâ al-Muallim bi Mawâthin al-Shalâh ‘alâ al-Nabî Saw., Al-Hâfizh Al-Sakhâwi di dalam kitab
Al-Qawl al-Badî’,
dan Al-Qasthallânî di dalam kitab Masâlik al-Hunafâ’. Al-Khâtib di dalam kitab Syarh al-Minhâj, dan yang
lainnya, berkata:
“Disunnahkan
memperbanyak membaca Surah Al-Kahfi dan shalawat atas Nabi Saw. pada hari
Jumat dan malam Jumat; paling
sedikit, untuk yang pertama tiga kali dan untuk yang kedua tiga
ratus kali.” Sementaraa itu, telah sah riwayat yang bersumber dari
Imam Al-Syâfi’i
r.a., yang mengatakan bahwa, barang-siapa yang membaca Surah Al- Kahfi pada hari
Jumat, ia akan diterangi oleh cahaya
yang ada di antara dua Jumat.
Diriwayatkan
pula bahwa barangsiapa yang membaca Surah Al-Kahfi pada malam Jumat, ia akan
diterangi oleh suatu cahaya antara dirinya dan Kabah. Membaca Surah Al-Kahfi di
waktu siang lebih di-utamakan, dan lebih utama lagi bila ia dibaca sesudah
selesai mengerjakan salat
subuh, guna menyegerakan
berbuat baik sebisa-bisanya.
Hikmah diperintahkannya
membaca Surah Al- Kahfi pada hari Jum’at adalah karena didalam
Surah itu Allah menggambarkan
suasana Hari Kiamat, sementara hari Jum’at mirip dengan Hari Kiamat, karena orang banyak
berkumpul untuk melaksanakan salat bersama-sama; juga karena Hari Kiamat itu
terjadi pada hari Jum’at,
seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya.
Ramli
mengatakan bahwa anjuran supaya memperbanyak pembacaan shalawat pada malam dan
hari Jum’at
itu didasarkan pada hadis yang berbunyi, “Sesungguhnya hari kalian yang paling utama adalah hari
Jumat. Oleh karena itu, perbanyaklah kalian membaca shalawat atasku, sebab
shalawat yang kalian baca itu diperlihatkan kepadaku.”
Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya semua amal itu diangkat pada hari Senin
dan hari Kamis.
Oleh karena itu, aku
berhasrat agar amalku diangkat sementara aku dalam keadaan berpuasa.”
Tentang hadis di atas,
Al-Manawi, di dalam kitab
Syarh Al-Jamî al-Shghîr;
permulaan jilid III,
Berkata, “Disyariatkan berkumpul untuk membaca shalawat atas
Nabi Saw. pada malam Jumat dan malam Senin, sebagaimana yang dikerjakan di masjid
Jami’ Al-Azhar dan
disuarakan dengan suara yang keras.”
Dikatakan bahwa shalawat atas
Nabi Saw. itu
sudah mencakup doa di
dalamnya.
Ibn Marzûq berkata, “Malam Jumat lebih utama dan malam Qadar.”
Jamâl kembali menyatakan
bahwa disunnahkan
membaca Surah Ali ‘Imrân atas dasar hadis,
“Barangsiapa
yang membaca Surah Ali ‘Imrân
pada hari Jumat, niscaya
dosa-dosanya ikut terbenam dengan tenggelamnya matahari pada
hari itu.”
Hikmahnya, kata Jamâl, adalah
karena Allah menyebutkan di dalam surah itu penciptaan Nabi
Adam a.s., sedangkan Adam
a.s. diciptakan pada hari Jumat.
Disunnahkan
juga membaca Surah Hûd dan Hâ Mîm Dukhân. Namun, bagi mereka yang hanya ingin
memilih salah satu dari surah-surah yang disebutkan di atas, hendaklah ia
memilih Surah Al-Kahfi karena banyaknya hadis yang meriwayatkannya Adapun
hadis-hadis lain yang menjelaskan waktu-waktu tertentu untuk membaca shalawat
sebagai berikut:
Pertama, sesudah adzan. Rersabda
Rasulullâh Saw.
Artinya: “Apabila kamu mendengar muadzin membacakan adzan,
sambutlah ucapannya. Sesudah selesai menyambut adzan, maka bershalawatlah kamu
untukku.”(HR.
Muslim)
Nabi Saw. bersabda:
Artinya: “Apabila kamu mendengar seorang muadzin (tukang membaca
adzan itu) bacalah
(sambutlah bacaan adzan itu)
seperti yang dibacakan olehnya. Kemudian (sesudah selesai
adzan dibacakan),
bershalawatlah kamu kepadaku. Sebenarnya barangsiapa bershalawat
kepadaku dengan suatu
shalawat, niscaya Allah bershalawat
ke-padanya dengan sepuluh shalawat. Sesudah itu mohonlah kepada Allah wasilah
untukku. Wasilah itu suatu ke-dudukan
yang paling tinggi dalam
syurga. Tidak dapat diperoleh, melainkan oleh seorang saja dari
hamba-hamba Allah. Aku
berharap semoga akulah yang mendapat ke-dudukan itu. Karena itu
barang siapa memohonkan
wasilah untukku, wajiblah baginya syafaatku. “(HR. Muslim).
Kedua, ketika hendak masuk ke
dalam mesjid dan ketika hendak keluar daripadanya.Bersahda Rasulullah Saw.: Artinya:
“Apabila seseorang
kamu masuk ke dalam mesjid, maka hendaklah ia membaca
“salam” kepadaku (membaca selwat dan salam). Sesudah itu
hendaklah ia membaca:
Allâhummaftah lî Abwâba
Rahmatika (Wahai Tuhanku, bukakanlah untukku segala pintu rahmatmu). Dan
apabila ia hendak keluar, hendaklah ia membaca (sesudah bershalawat):
Allâhumma Innî As aluka min
Fadhlika. (Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu limpahan
rahmat-Mu).” (HR. Abû Dâud). Diberitakan oleh Ibn Al-Sunnî, bahwa
Rasulullah
apabila masuk ke dalam
mesiid. maka beliau
membaca:
Artinya: “Dengan nama Allah wahai tuhanku, berilah kebesaran
kepada Muhammad.”
Dan apabila beliau hendak
keluar dari mesiid, maka beliau membaca
Ketiga, sudah membaca
tasyahhud di
dalam tasyahhud akhir. Telah
ditahqikkan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam Jalâ’u al-Afhâm, bahwa madzhab yang haq dalam soal
bershalawat dalam tasyahhud yang akhir, ialah madzhab Al-Syâfi’i. Yaitu mewajibkan shalawat kepada Nabi di dalamnya.
Al-Imam Ibn Al-Qayyim berpendapat,
bahwa shalawat itu dituntut juga di dalam tasyahhud
yang pertama, walaupun tidak
sekeras tuntutan seperti di dalam tasyahhud yang akhir.
Bersabda
Rasulullah Saw.: Artinya: “Apabila salah seorang kamu bertasayahhud di dalam
sembahyang, maka hendaklah ia mengucapkan: Allâhumma Shalli‘alâ Muhammadin wa ‘alâ Âli Muham-madin, Kamâ Shallayta wa Bârakta wa
Tarahamta ‘alâ
Ibrâhîm wa Âli Ibrâhîm, Innaka Hamîdun Majîd.” (HR. Al-Baihaqî ).
Keempat,
di dalam sembahyang jenazah.Berkata Al-Syâfi’i di dalam Al-Musnad: “Sunnah Nabi Saw. di dalam melaksanakan sembahyang jenazah
ialah, bertakbir pada permulaannya, sesudah itu membaca Al-Fâtihah dengan tidak
mengeraskan suara, kemudian sesudah takbir kedua membaca shalawat, sesudah
bershalawat bertakbir lagi, takbir yang ketiga. Sesudah takbir yang ketiga ini
membaca doa dengan sepenuh keikhlasan untuk jenazah itu. Dalam sembahyang
jenazah tidak dibacakan surah (ayat-ayat Al-Quran). Sesudah itu bertakbir dan lalu
memberi salam dengan suara yang tidak dikeraskan.”
Kelima, diantara
takbir-takbir sembahyang hari-raya. Berkata para ulama: “Disukai kita membaca di antara takbir-takbir
sembahyang hari-raya: Artinya: “Saya akui kesucian Allah, segala puji dan sanjung
kepunyaan Allah juga. Tak ada Tuhan yang seebenarnya berhak disembah, melainkan
Allah senndiri-Nya dan Allah itu Maha Besar. Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakan oleh-Mu
akan Muhammad dan akan keluarganya, Ya Allah, Wahai Tuhanku, ampuniah akan aku
dan beri rahmatlah kepadaku.”
Keenam, di permulaan doa dan
di
akhirnya.
Bersabda Rasulullah Saw.:
Artinya:“Bahwasannya doa itu berhenti antara
langit dan bumi, tiada naik, barang sedikit juga
daripadanya sehingga engkau bershalawat
kepada Nabi engkau.” (HR.
Al-Turmudzî).
Fadlalah Ibn ‘Ubadi berkata: “Bahwasanya Rasulullah Saw. mendengar seorang laki-laki
langsung berdoa dalam
sembahyang (yakni dalam duduk tahiyat sesudah membaca
tasyahhud), sebelum ia
bershalawat. Maka Rasulullah berkata kepada orang yang di sisinya:
Orang ini telah bergesa-gesa.
Sesudah orang itu selesai sembahyang, Nabipun memanggil lalu
mengatakan kepada-nya:
Apabila bersembahyang seseorang kamu dan hendak berdoa di dalamnya, hendaklah
ia memulai doanya dengan memuji Allah dan membesarkan-Nya. Sesudah itu bershalawat
kepada Nabi Sesudah bershalawat,
barulah mendoa memohon
sesuatu yang
dihajati.” (HR. Abû Dâud dan Al-Nasâ’i).
Telah
mufakat semua ulama, bahwa amat disukai memulai doa dengan memuji Allah
(membaca Alhamdulillah). Di dalam sembahyang, maka tasyahhud adalah
menggantikan kalimah puji (hamdalah). Sesudah memuji Tuhan bershalawat.
Demikian pula halnya ketika
mengakhiri doa. Amat disukai kita mengakhirinya dengan
shalawat dan memuji Allah.
Ketujuh, ketika hendak
memulai sesuatu urusan penting dan berharga. Diberitakan oleh Abû Hurairah,
bahwa Nabi Saw. bersabda: Artinya: “Tiap-tiap urusan penting yang berarti
dan berharga yang tidak
dimulai dengan hamdalah dan shalawat, maka urusan itu hilang berkatnya.”(HR. Al-Rahawî). Pengarang Syarah Dalâ’il, –menukil pernyataan
yang diberikan oleh Qâdhi ‘Iyâdh di dalam kitabnya Al-Syifâ’–mengatakan bahwa maksud
pembacaan shalawat dalam
pembukaan segala sesuatu itu adalah untuk bertabaruk (memohon
berkah), sesuai dengan sabda
Nabi Saw., “Setiap
perbuatan penting yang tidak dimulai dengan
menyebut nama Allah dan
bershalawat kepadaku niscaya kurang sempurna.”
Juga
didasarkan atas firman Allah Swt. di dalam surah Al-Insyirah ayat 4, yang
berbunyi:
Artinya: “Kami meninggikan bagimu sebutan (nama)-Mu.” (OS. Al-Insyirah:4).
Tentang maksud ayat ini,
sebagian ahli hadis meriwayatkan sebuah hadis dari salah seorang
sahabat, yakni Abû Sad r.a.,
bahwa makna ayat tersebut adalah, “Tidaklah Aku (Allah) disebut,
melainkan engkau (Muhammad)
pun disebut pula hersama-Ku.”
Memenuhi sebagian hak
Rasulullah Saw., sebab beliau adalah perantara antara Allah Saw. Dan hamba-hamba-Nya.
Semua nikmat yang diterima oleh mereka -termasuk nikmat terbesar berupa
hidayah kepada Islam- adalah
dengan perantara
dan melalui Rasulullah Saw.
Di
dalam salah satu hadis, Rasulullah Saw. Bersabda, “Belumlah bersyukur kepada Allah orang yang tidak
ber-terima kasih kepada manusia.”Memelihara perintah Allah Swt. yang
dituangkannya di dalam
firman-Nya yangberbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang Beriman, bershalawatlah kalian
untuk Nabi, dan
ucapkanlah salampenghormatan
kepadanya.”(QS.
Al-Ahzâb: 33).
Kedelapan, di akhir qunut
Diriwayatkan oleh Al-Nasâ’i, bahwa disukai kita mengakhiri qunut dengan
shalawat. Tegasnya,
disukai supaya kita
bershalawat di akhir Qunut dengan kalimah:
Artinya: “Dan mudah-mudahan Allah melimpahkan shalawat-Nya atas
Muhammad.”
Kesembilan, di malam dan hari
Jumat. Bersabda Rasulullah Saw. :
Artinya: “Banyakkanlah olehmu membaca shalawat di malam hari
Jumat dan siangnya
karena shalawat itu
dtkemukakan kepadaku.
“
(HR. Al-Thabrânî).
Dan sabdanya pula; Artinya: “Banyakkanlah olehmu shalawat kepada-ku, karena
shalawaatmu itu akan menjadi cahaya bagimu pada hari qiyamat.” (HR Al-Thrmudzî dan Abû Dâud).
Al-Ustâdz Mahmûd Sâmi dalam
karyanya
Mukhtashar fi Ma’ânî Asmâ Allah al-Husnâ, bâbu al-Shalâh ‘alâ al-Nabi, menceritakan ‘Umarbin ‘Abdul ‘Azîz r.a. pernah menulis,
“sebarkanlah
ilmu pada hari Jumat, sebab bencana ilmu itu adalah lupa. Perbanyaklah pula
kalian membaca shalawat atas
Nabi Saw. pada
hari jumat.
Sementara Imam Al-Syâfi’i r.a. Berkata, “Aku suka memperbanyak membaca shalawat dalam
setiap keadaan. Namun, pada
malam dan hari Jumat lebih aku sukai, karena ia merupakan hari
yang paling baik.
Kesepuluh,
di dalam khutbbah. Menurut madzhab Al-Syâfi’i, para khatib wajib
membaca shalawat untuk Nabi
Saw. Pada permulaan khuthbah, sesudah membaca tahmid.
Ibnu Katsîr herkata: “demikianlah madzhab Al- Syâfi’i dan Ahmad.”
Kesebelas, ketika berziarah
ke kubur Nabi Saw.
Bersabda Nabi Saw.
Artinya: “Tidak ada seorangpun di antara kamu yang memberikan salamnya
kepadaku yakni di
sisi kuburku, melainkan Allah
mengembalikan kepadaku ruhku untuk mniawab salamnya itu.”
(HR. Abû Dâud).
Kedua belas, sesudah
bertalbiyah. Berkata Muhammad Ibn Al-Qasim:
Artinya: “Memang disuruh seseorang membaca shalawat kepada nabi
apabila dia telah selesai
membaca talbiyahnya dalam
segala keadaan.”
(HR. Al-Syâfi’i dan Al-Dâruquthnî).
Ketiga belas, ketika telinga mendenging. Bersabda
Rasulullah Saw :
Artinya: “Apabila mendenging telinga salah seorang di antaramu,
maka hedaklah la mengingat dan bershalawat kepadaku.” (HR. IbnAl-Sunî)
Keempat belas, tiap-tiap
mengadakan
majlis. Bersabda Ralulullah
Saw :
Artinya: “Tidak duduk sesuatu kaum di dalam sesuatu majlis,
sedang mereka tidak menyebut akan Allah dan tidak betshalawat kepda Nabinya, melainkan
menderita kekuranganlah maka jika
Allah mmghendaki niscaya
Allah akan mengazab mereka dan jika Allah menghendaki, niscaya
akan mengampuni mereka.” (HR. Al-Thrmudzî Abû Dâud).
Kelima belas, di kala
tertimpa kesusahan dan kegundahan. Diberitakan oleh Ubay Ibn Ka’ab, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
Saw. ujarnya: “Ya
Rasulallah, bagaimana pendapat engkau sekiranya saya jadikan shalawat saya untuk
engkau semua?
Rasulullah Saw. menjawab :
“Kalau
demikian Allah akan memelihara engkau dari segala yang membimbangkan engkau,
baik mengenai dunia, maupun mengenai akhirat engkau. “(HR. Ahmad).
Keenam belas, tiap-tiap waktu
pagi dan petang. Bersabda Rasululullah Saw:
Artinya: “Barangsiapa bershalawat kepadaku waktu pagi sepuluh
kali waktu petang sepuluh
kali, maka ia akan mendapat
syafa’atku di hari qiamat, ” (HR. Al-Thabarî).
Ketujuh belas, waktu berjumpa
dengan para shahabat, handai dan tolan. Besabda Rasulullah Saw :Artinya: “Tidak ada dua orang hamba yang berkasih-kasihan karena
Allah, apabila berjumpa salah seorang dengan yang lainnya lalu berjabatan
tangan dan bershalawat kepada Nabi Saw., melainkan Allah mengampuni dosanya sebelum
mereka berpisah, baik yang telah lalumaupun yang akan datang. “ (HR Ibn Al-Sunnî).
Kedelapan belas. ketika Orang
menyebut
nama Rasulullah Saw.: Artinya:
“Orang yang kikir
ialah: Orang yang tidak mau bershalawat ketika orang menyebut namaku di
sisinya.”
(HR. Ahmad).
Inilah delapan belas tempat
atau waktu yangditentukan supaya kita bershalawat kepada Nabi,
ketika kita berada pada
tempat, waktu atau keadaan itu. Maka marilah kita wahai para pencinta Rasul,
bershalawat kepadanya pada tempat-tempat, waktu-waktu dan keadaan-
keadaan tertentu dengan
sebaik-baiknya. Kemudian kita perhatikan makna hadis yang tersebut di bawah
ini. Bersabdalah RasulullahSaw :
Artinya: “Tidak beriman salah seorang kamu,
sehingga la mencintai aku
lebih daripada anaknya, ayahnya dan manusia semua.”
(HR. Al-Bukhârî, Muslim, dan Ahmad)
Artinya: “Diriwayatkan bahwasanya ‘Umar pernah berkata kepada Rasulullah Saw.: Ya
Rasulullah, sesungguhnya
engkau lebih kucintai dari segala sesuatu, kecuali kecintaanku terhadap diriku.
Menjawab Nabi: Ya ‘Umar
engkau belum lagi mencintai aku sebelum engkau melebihkan cintamu itu daripada
kepada dirimu sendiri.
Mendengar
itu ‘Umarpun berkata: Demi
Allah, engkau ya Muhammd, lebih aku cintai daripada diriku sendiri! Nabi
menjawab: barulah sekarang engkau mencintai aku hai ‘Umar.” (HR. Ahmad, Bukhârî, dan Muslim).
Sebagai
tanda mencintai Rasulllah Saw. itu, ialah: memperbanyak shalawat kepadanya. Dan
marilah kita ber-shalawat kepadanya dengan khusyu’ dan khudlu’, terlepas dari riya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar