4. Aurat Ketika Di Hadapan Pria Bukan Mahram
Kewajiban menutup aurat di hadapan pria bukan
mahram adalah sangat penting dan harus dilaksanakan oleh setiap wanita, untuk
menghindari terjadi hal yang tidak diinginkan seperti pemerkosaan dan
sebagainya. Hal ini terjadi karena memuncaknya nafsu para pria akibat dari
penglihatan terhadap wanita memakai pakaian yang tidak senonoh dan
mengungkapkan sebagian tubuh mereka.
Wanita yang bersuami pula, dengan terlaksanakan
kewajiban ini, akan dapat membantu suami, yang mana dosa seorang istri yang
membuka aurat akan ditanggung oleh suami. Karena itu, wanita-wanita perlu
memahami batas-batas aurat ketika berhadapan dengan orang-orang tertentu dalam
kondisi yang berbeda.
5. Aurat Ketika Di Hadapan Wanita Kafir
Aurat wanita ketika berhadapan atau bergaul
dengan wanita bukan Islam adalah menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak
tangan.
Rasulullah SAW. bersabda dalam sebuah hadis yang
artinya: Abdullah bin Abbas ada menyatakan, Rasulullah SAW. pernah bersabda:
“Tidak halal kaum wanita Islam itu dilihat oleh
kaum Yahudi dan Nasrani”.
6. Aurat ketika Bersama Suami
Bila seorang istri bersama-sama dengan suaminya
di tempat yang terlindung dari pandangan orang lain, maka Islam telah memberi
kelongaran dengan tidak membatasi aurat pada suaminya.
Ini berarti suami dan istri tidak ada batasan
aurat terhadap mereka berdua. Isteri bisa mengungkapkan seluruh anggota
badannya bila berhadapan dengan suaminya.
Mu’awiyah bin Haidah mengatakan: “Aku pernah
bertanya: Ya Rasulullah, bagaimanakah aurat kami, apakah bisa dilihat oleh orang
lain?” Beliau menjawab: “Jagalah auratmu kecuali terhadap isterimu atau
terhadap budak milikmu”. Aku bertanya lagi: “Ya Rasulullah, bagaimana kalau
banyak orang mandi bercampur-baur di satu tempat?” Beliau menjawab:
“Berusahalah sebisa mungkin agar engkau tidak bisa melihat aurat orang lain dan
ia pun tidak bisa melihat auratmu”. Aku masih bertanya lagi: “Ya Rasulullah,
bagaimana kalau orang mandi sendirian?” Beliau menjawab: “Seharuslah ia lebih
malu kepada Allah dari malu kepada orang lain”.
(HR. Iman Ahmad dan Abu Dawud)
BATAS AURAT
Semua imam mazhab mensyaratkan menutup aurat
agar shalat menjadi sah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Tetapi
para fuqahak ‘memiliki pendapat berbeda dalam menetapkan batas aurat bagi orang
pria, hamba perempuan dan juga wanita biasa (bukan hamba). Pendapat mereka
secara rinci adalah sebagai berikut:
4. Aurat Ketika Di Hadapan Pria Bukan
Mahram
Kewajiban menutup aurat di hadapan pria bukan
mahram adalah sangat penting dan harus dilaksanakan oleh setiap wanita, untuk
menghindari terjadi hal yang tidak diinginkan seperti pemerkosaan dan
sebagainya. Hal ini terjadi karena memuncaknya nafsu para pria akibat dari
penglihatan terhadap wanita memakai pakaian yang tidak senonoh dan
mengungkapkan sebagian tubuh mereka.
Wanita yang bersuami pula, dengan terlaksanakan
kewajiban ini, akan dapat membantu suami, yang mana dosa seorang istri yang
membuka aurat akan ditanggung oleh suami. Karena itu, wanita-wanita perlu
memahami batas-batas aurat ketika berhadapan dengan orang-orang tertentu dalam
kondisi yang berbeda.
5. Aurat Ketika Di Hadapan Wanita Kafir.
Aurat wanita ketika berhadapan atau bergaul
dengan wanita bukan Islam adalah menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak
tangan.
Rasulullah SAW. bersabda dalam sebuah hadis yang
artinya: Abdullah bin Abbas ada menyatakan, Rasulullah SAW. pernah bersabda:
“Tidak halal kaum wanita Islam itu dilihat oleh kaum Yahudi dan Nasrani”.
6. Aurat ketika Bersama Suami
Bila seorang istri bersama-sama dengan suaminya
di tempat yang terlindung dari pandangan orang lain, maka Islam telah memberi
kelongaran dengan tidak membatasi aurat pada suaminya.
Ini berarti suami dan istri tidak ada batasan
aurat terhadap mereka berdua. Isteri bisa mengungkapkan seluruh anggota
badannya bila berhadapan dengan suaminya.
Mu’awiyah bin Haidah mengatakan: “Aku pernah
bertanya: Ya Rasulullah, bagaimanakah aurat kami, apakah bisa dilihat oleh
orang lain?” Beliau menjawab: “Jagalah auratmu kecuali terhadap isterimu atau
terhadap budak milikmu”. Aku bertanya lagi: “Ya Rasulullah, bagaimana kalau
banyak orang mandi bercampur-baur di satu tempat?” Beliau menjawab:
“Berusahalah sebisa mungkin agar engkau tidak bisa melihat aurat orang lain dan
ia pun tidak bisa melihat auratmu”. Aku masih bertanya lagi: “Ya Rasulullah,
bagaimana kalau orang mandi sendirian?” Beliau menjawab: “Seharuslah ia lebih
malu kepada Allah dari malu kepada orang lain”.
(HR. Iman Ahmad dan Abu Dawud)
BATAS AURAT
Semua imam mazhab mensyaratkan menutup aurat
agar shalat menjadi sah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Tetapi
para fuqahak ‘memiliki pendapat berbeda dalam menetapkan batas aurat bagi orang
pria, hamba perempuan dan juga wanita biasa (bukan hamba). Pendapat mereka
secara rinci adalah sebagai berikut:
=========================
Mazhab Hanafi
===============================
Aurat orang lelaki adalah di bawah pusat hingga
di bawah lutut. Maka lutut adalah aurat menurut pendapat yang asah berdasarkan
hadits berikut:
Aurat orang lelaki adalah apa yang terdapat
antara pusat dengan lututnya. Hadits Nabi
Berdasarkan sebuah Hadits da’if menurut pendapat
al-Daruqutni:
Lutut adalah bagian dari aurat.
Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan
tubuh mereka kecuali yang lahir darinya ….
(Sarah al-Nar 24:31)
Aurat hamba perempuan sama dengan aurat orang
pria. Tetapi ditambahkan belakang, perut dan sisinya.
Ini berdasarkan kata Umar r.a. yang berarti:
“Buangkanlah kerudung kepala wahai hamba
perempuan. Apakah kamu menyerupai wanita-wanita yang merdeka? “
Karena dia (budak) keluar dari rumah untuk
kebutuhan tuannya dengan memakai pakaian kerjanya seperti biasa, maka dianggap
sebagai muhrim (orang yang diharam menikah) untuk orang lain untuk menghindari
kerumitan.
Orang perempuan (selain hamba) dan khunsa (orang
yang tidak tentu sifat jantinanya), menurut pendapat yang asah di kalangan
ulama Hanafi, aurat mereka adalah seluruh anggota tubuh sehingga rambutnya yang
berjuntai, kecuali muka, kedua telapak tangan dan kedua kakinya (pergelangan
hingga ujung jari), baik di sebelah luar maupun sebelah situs menurut pendapat
yang final karena darurat.
Menurut pendapat yang rajih, suara bukanlah
aurat. Menurut pendapat yang azhar, sebelah luar tapak tangan adalah aurat.
Tetapi menurut pendapat yang asah, telapak tangan dan sebelah luarnya bukan
aurat.
Menurut pendapat yang final, kedua kaki bukan
aurat dalam shalat. Tetapi menurut pendapat yang shahih, keduanya adalah aurat
dari segi penglihatan dan penyentuhan. Ini berdasarkan firman Allah S.W.T.:
Tempat perhiasan yang lahir adalah muka dan dua
tapak tangan, sebagaimana kata Ibn Abbas dan Ibn Umar, dan sabda Rasulullah
saw:
Orang perempuan itu aurat, saat ia keluar, maka
setan memandang kepadanya.228
Dan Hadits riwayat `Aisyah yang telah disebutkan
sebelumnya:
Wahai Asma ‘, orang perempuan saat bertambah
usia haid (umur baligh), tidak terlihat padanya kecuali ini dan ini.
Beliau menunjukkan kepada mukanya dan kedua
situs tangannya.229
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh
`Aisyah yang telah disebutkan sebelumnya:
Allah S.W.T. tidak menerima shalat orang
perempuan yang sudah menstruasi (baligh) tanpa tudung kepala.
Bertentangan perempuan remaja dari memperlihatkan
mukanya di kalangan orang pria. Tegahan itu bukan karena muka itu sebagai
aurat, tetapi untuk menghindari timbulnya fitnah atau syahwat. Tujuan tegahan
memperlihatkan mukanya adalah karena dikhawatirkan orang pria akan melihat
mukanya yang mengakibatkan timbul fitnah. Ini karena dengan memperlihatkan muka
memungkinkan orang lelaki memandangnya dengan keinginan syahwat.
Tidak harus melihat muka orang perempuan dan
pemuda yang belum tumbuh kumis dan jenggot (yang masih terlalu muda) dengan
syahwat, kecuali karena kebutuhan, seperti kadi, saksi atau pembuktian
terhadapnya dan orang yang ingin meminang bisa melihatnya sekalipun timbul
nafsu syahwat, tetapi dengan niat beramal dengan Sunnah Nabi, bukan untuk
memuaskan nafsu. Begitu juga ketika mengobati tempat yang sakit sekedar yang
diperlukan.
Menurut pendapat yang akhir di kalangan ulama
Hanafi, mengungkapkan seperempat bagian anggota aurat (yang berat, mughallazah,
yaitu kemaluan depan dan belakang dan sekelilingnya, ataupun aurat ringan
(mukhaffafah), yaitu selain dua kemaluan tadi) dengan tidak sengaja selama
penilaian melakukan satu rukun shalat, maka terbatal shalat itu.
Ini disebabkan seperempat bagian sama hukumnya
dengan seluruh bagian, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Tetapi
tidak terbatal shalat jika terekspos kurang dari seperempat.
Jadi, jika seseorang mengungkapkan seperempat
dari perut, paha, rambut yang berjuntai dari kepala, kemaluan belakang, penis,
kedua buah zakar atau kemaluan hadapan perempuan, maka terbatal shalatnya jika
berlalu selama penilaian melakukan satu rukun shalat, tetapi jikalau tidak
berlalu selama penilaian tersebut, maka tidak terbatal shalatnya itu.
=======================
Mazhab Maliki
=======================
Mazhab Maliki
=======================
Pendapat yang sepakat dalam mazhab ini
mewajibkan menutup aurat dari pandangan publik.
Ketika shalat, menurut pendapat yang shahih dari
mazhab ini, diwajibkan menutup hal berikut:
Aurat orang pria ketika shalat adalah aurat
berat (mughallazah) saja, yaitu kemaluan depan, penis beserta buah zakar dan
kemaluan belakang yang terletak antara kedua papan punggung. Karena itu, wajib
mengulangi shalat dengan cepat sekalipun rentan kedua papan punggung saja,
ataupun rentan ari-ari. Paha tidak termasuk aurat pada pandangan mereka, hanya
penis dan buah zakar saja berdasarkan Hadits riwayat Anas:
Bahwa di dalam Perang Khaibar, Rasulullah saw
telah terkoyak kain pada pahanya, sehingga aku temampak keputihan pahanya.
Aurat hamba perempuan adalah kedua kemaluan dan
papan punggung. Jadi, jika rentan sesuatu darinya atau rentan paha seluruhnya
atau sebagian, maka harus diulangi shalat dengan cepat sebagaimana juga orang
pria.
Waktu mengulangi shalat untuk Sholat Dhuhur dan
Ashar adalah saat matahari kekuningan. Untuk shalat Maghrib dan Isya ‘pula
adalah seluruh malam dan untuk shalat Subuh saat naik matahari.
Aurat berat (mughallazah) orang perempuan (bukan
hamba) adalah seluruh badan kecuali dada, tepi kepala, kedua tangan dan kedua
kaki (dari pangkal paha hingga ujung jari) dan bagian belakang yang
bersetentang dengan dada sama hukumnya dengan dada .
Jika rentan aurat ringan (mukhaffafah) dari dada
atau sebagian sekalipun belakang kakinya bukan perut kakinya, maka harus
diulangi shalat pada waktu yang diinginkan sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, yaitu untuk waktu Zhuhur dan Ashar saat kekuningan dan untuk waktu
Maghrib dan Isya ‘sepanjang malam dan untuk waktu Subuh adalah naik matahari.
Itu adalah dari segi shalat.
Dari segi pandangan dan shalat, maka diwajibkan
juga menutupnya. Tidak disyaratkan tutup aurat bagi orang pria dan hamba
perempuan di luar shalat. Aurat wanita (selain hamba) di hadapan orang
perempuan Islam atau kafir adalah antara pusat dengan lutut.
Wajib menutup seluruh tubuh wanita (selain
hamba) ketika berada di hadapan pria asing (bukan muhrim) kecuali muka dan
kedua telapak tangan, karena kedua duanya bukan aurat. Namun diwajibkan juga
menutup muka dan telapak tangan agar tidak menimbulkan fitnah.
Orang pria tidak boleh melihat dada perempuan
muhrim dan sejenisnya, sekalipun sebab menjadi muhrim itu karena persemendaan
dan persusuan, kecuali muka dan bagian-bagian termasuk tengkuk, kepala dan
punggung kaki dan sekalipun penglihatan itu tidak menimbulkan kesenangan.
Hukum tersebut berbeda dengan hukum di sisi
ulama Syafi’i dan para ulama lainnya yang memperbolehkan melihat seluruh tubuh
kecuali antara pusat dan lutut. Kebenaran itu adalah sebagai fasilitas
(fushah).
Dari uraian itu, jelas bahwa aurat orang pria
dan wanita dalam shalat terdiri dari aurat berat (mughallazah) dan aurat ringan
(mukhaffafah).
Aurat berat bagi orang lelaki adalah kemaluan
depan dan lubang dubur. Aurat ringan mereka adalah bagian-bagian selain
kemaluan depan dan lubang dubur yang ada di antara pusat dan lutut.
Aurat berat bagi hamba perempuan adalah kedua
papan punggung dan yang ada di antara seperti lubang dubur, kemaluan depan dan
yang di atas dari ari-ari. Aurat ringan baginya adalah paha dan apa yang ada
pada ari-ari hingga pusat. Aurat berat untuk orang perempuan (selain hamba)
adalah seluruh tubuhnya kecuali kaki, tangan, dada dan bagian belakang yang
bersetentang dengan dada. Aurat ringan baginya adalah seluruh tubuhnya kecuali
muka dan kedua tangannya.
Jadi, jika seseorang melakukan shalat dalam
kondisi rentan aurat berat, sedangkan ia tahu dan berdaya untuk menutupinya
sekalipun dengan membeli atau meminjam, menurut pendapat yang rajih, maka
terbatal shalatnya dan harus diulangi menurut pendapat yang masyhur di kalangan
ulama Maliki.
Sebaliknya, seseorang yang melakukan shalat
dalam kondisi rentan aurat ringannya, maka tidak terbatal shalatnya sekalipun
hukum membuka aurat ringan adalah makruh dan haram melihat nya. Namun,
dianjurkan orang yang melakukan shalat dalam kondisi rentan aurat ringannya
agar mengulangi shalatnya itu dalam waktu darurat (untuk Zhuhur dan Ashar
adalah waktu kekuningan, Maghrib dan Isya ‘pula adalah sepanjang malam dan
subuh waktu terbit matahari).
Diharamkan melihat aurat ketika terekspos,
sekalipun tidak menimbulkan kesenangan. Tetapi melihatnya ketika tertutup
hukumnya harus kecuali jika diintai dari sebelah atas penutupnya, maka hukumnya
adalah tidak harus.
Aurat dinisbah dari segi pandangan untuk orang
pria adalah apa yang terdapat antara pusat dengan lutut. Aurat wanita ketika di
hadapan orang pria asing adalah seluruh badannya kecuali muka dan kedua
tangannya dan ketika berada di hadapan muhrimnya seluruh tubuhnya kecuali muka,
kepala, tengkuk, kedua tangan dan kedua kaki. Tetapi jika dibimbangi
menimbulkan kesenangan, maka haram mengungkapkan hal-hal tadi. Pelarangan itu
bukan karena hal tersebut menjadi aurat, tetapi karena dibimbangi menimbulkan
kesenangan. Orang perempuan dengan perempuan atau dengan muhrimnya sama seperti
pria dengan pria, bisa dilihat selain yang terdapat antara pusat dengan lutut.
Bagian yang bisa dilihat oleh orang perempuan
pada orang pria asing adalah sama dengan hukum orang pria dengan
muhrim-muhrimnya, yaitu terlihat pada muka, kepala, kedua tangan dan kedua
kaki.
=================================
Mazhab Syafi `i
=================================
1. Imam Syafi’i menyatakan dalam al-Um dalam bab
bagaimana memakai pakaian dalam shalat :
وكل المرأة عورة إلا كفيها ووجهها
Dan setiap wanita adalah aurat kecuali dua
telapak tangan dan wajahnya.[1]
Dengan demikian, pernyataan Syafi’i di atas
merupakan penjelasan aurat wanita dalam shalat. Pada halaman sebelumnya, Imam
Syafi’i lebih tegas menyebutkannya sebagai aurat wanita dalam shalat :
على المرأة أن تغطى في الصلاة كل ماعدا كفيها
ووجهها
Wajib atas wanita menutup selain dua telapak
tangan dan wajahnya dalam shalat.[2]
2. Abu Ishaq al-Syairazi mengatakan :
أما الحرة فجميع بدنها عورة إلا الوجه والكفين
لقوله تعالى ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها قال ابن عباس: وجهها وكفيها ولأن
النبي صلى الله عليه وسلم نهى المرأة في الحرام عن لبس القفازين والنقاب ولو كان
الوجه والكف عورة لما حرم سترهما ولأن الحاجة تدعو إلى إبراز الوجه في البيع
والشراء وإلى إبراز الكف للأخذ والإعطاء فلم يجعل ذلك عورة
Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya
merupakan aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,
kecuali yang biasa nampak dari padanya”. Ibnu ‘Abbas berkata (mengomentari ayat
ini), ‘yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak tangannya’. Dasar lainnya
adalah karena Nabi SAW melarang wanita ketika ihram memakai sarung tangan dan
cadar. Seandainya wajah dan telapak tangan merupakan aurat, Rasulullah tidak
akan mengharamkan menutupnya. Alasan lainnya adalah karena adanya keperluan
yang menuntut seorang wanita untuk menampakkan wajah dalam jual beli, dan
menampakkan telapak tangan ketika memberi dan menerima sesuatu. Maka, tidak
dijadikan wajah dan telapak tangan sebagai aurat.[3]
3. Dalam Tuhfah al-Muhtaj, disebutkan :
(وَ) عَوْرَةُ (الْحُرَّةِ) وَلَوْ غَيْرَ
مُمَيِّزَةٍ وَالْخُنْثَى الْحُرِّ (مَا سِوَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ)
ظَهْرُهُمَا وَبَطْنُهُمَا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا أَيْ إلَّا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ
وَلِلْحَاجَةِ لِكَشْفِهِمَا وَإِنَّمَا حَرُمَ نَظَرُهُمَا كَالزَّائِدِ عَلَى
عَوْرَةِ الْأَمَةِ لِأَنَّ ذَلِكَ مَظِنَّةٌ لِلْفِتْنَةِ
Aurat wanita merdeka, meskipun dia itu belum
mumayyiz dan aurat khuntsa merdeka adalah selain wajah dan dua telapak tangan,
zhahirnya dan bathinnya sehingga dua persendiannya, berdasarkan firman Allah :
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak
dari padanya”, yaitu kecuali wajah dan dua telapak tangan. Alasan lain adalah
karena ada keperluan membukanya. Hanya haram menilik wajah dan kedua telapak
tangan seperti halnya yang lebih dari aurat hamba sahaya wanita, karena yang
demikian itu berpotensi menimbulkan fitnah.[4]
4. Al-Ziyadi mengatakan :
أَنَّ لَهَا ثَلَاثَ عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي
الصَّلَاةِ وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْأَجَانِبِ
إلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ
وَعَوْرَةٌ فِي الْخَلْوَةِ وَعِنْدَ الْمَحَارِمِ كَعَوْرَةِ الرَّجُلِ
Wanita memiliki tiga jenis aurat: (1) aurat
dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan (2) aurat terhadap pandangan lelaki
ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat
yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti
laki-laki.[5]
5. Syaikh Taqiyuddin al-Hushni, penulis
Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة
متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر
إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian
yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika
shalat, kecuali jika di masjid yang kondisinya sulit terjaga dari pandangan
lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga
menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab.[6]
6. Dalam I’anah al-Thalibin disebutkan :
قال في فتح الجواد: ولا ينافيه، أي ما حكاه الإمام
من اتفاق المسلمين على المنع، ما نقله القاضي عياض عن العلماء أنه لا يجب على
المرأة ستر وجهها في طريقها، وإنما ذلك سنة، وعلى الرجال غض البصر لأن منعهن من
ذلك ليس لوجوب الستر عليهن، بل لأن فيه مصلحة عامة بسد باب الفتنة. نعم، الوجه
وجوبه عليها إذا علمت نظر أجنبي إليها أخذا من قولهم يلزمها ستر وجهها عن الذمية،
ولأن في بقاء كشفه إعانة على الحرام.اه.
Pengarang Fath al-Jawad mengatakan, “Apa
yang diceritakan oleh al-Imam bahwa sepakat kaum muslimin atas terlarang
(terlarang wanita keluar dengan terbuka wajah) tidak berlawanan dengan yang
dikutip oleh Qadhi ‘Iyadh dari ulama bahwa tidak wajib atas wanita menutup
wajahnya pada jalan, yang demikian itu hanya sunnah dan hanyasanya atas laki-laki
wajib memicing pandangannya, karena terlarang wanita yang demikian itu bukan
karena wajib menutup wajah atas mereka, tetapi karena di situ ada maslahah yang
umum dengan menutup pintu fitnah. Namun menurut pendapat yang kuat wajib
menutupnya atas wanita apabila diketahuinya ada pandangan laki-laki ajnabi
kepadanya, karena memahami dari perkataan ulama “wanita wajib menutup wajahnya
dari kafir zimmi” dan juga karena membiarkan terbuka wajah membantu atas
sesuatu yang haram.[7]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat
dipahami dalam mazhab Syafi’i sebagai berikut :
1. Aurat wanita merdeka dalam shalat dalam
artian wajib ditutupinya adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
2. Aurat wanita merdeka di luar shalat dalam
artian haram memandangnya oleh laki-laki ajnabi (bukan mahramnya) adalah
seluruh tubuh tanpa kecuali, yaitu termasuk wajah dan telapak tangan.
3. Aurat wanita merdeka di luar shalat dalam
artian wajib menutupinya sama dengan aurat dalam shalat, yaitu seluruh tubuh
kecuali wajah dan telapak tangan.
4. wajib menutup wajah dan telapak tangan di
dalam dan diluar shalat atas wanita apabila diketahuinya ada pandangan
laki-laki ajnabi kepadanya,
Adapun argumentasi aurat wanita merdeka dalam
shalat dan diluar shalat dalam artian wajib ditutupinya adalah seluruh tubuh
kecuali wajah dan telapak tangan adalah firman Allah berbunyi :
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya (Q.S. al-Nur : 31)
Yang dimaksud dengan “illa maa zhahara minha”
adalah wajah dan telapak tangan, sebagaimana keterangan Ibnu Abbas yang dikutip
oleh Ishaq al-Syairazi di atas.
Sedangkan argumentasi aurat wanita merdeka di
luar shalat dalam artian haram memandangnya oleh laki-laki ajnabi (bukan
mahramnya) adalah seluruh tubuh tanpa kecuali, yaitu termasuk wajah dan telapak
tangan, ini dengan beralasan berpotensi menimbulkan fitnah, makanya perlu
ditutup pintu fitnah itu
Atas laki-laki wajib menahan matanya dari
sengaja memandang sebagian tubuh wanita termasuk wajahnya, berdasarkan firman
Allah berbunyi :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat (Q.S. al-Nur : 30)
==================================================================================
[1] Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 201
[2] Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 199
[3] Abu Ishaq al-Syairazi, al-Muhazzab, dicetak bersama Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 173
[4] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 111-112
[5] Syarwani, Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 112
[6] Syaikh Taqiyuddin al-Hushni, Kifayatuul Akhyar, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 144
[7] Sayyed al-Bakri al-Syatha, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 258-259
[2] Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 199
[3] Abu Ishaq al-Syairazi, al-Muhazzab, dicetak bersama Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 173
[4] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 111-112
[5] Syarwani, Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 112
[6] Syaikh Taqiyuddin al-Hushni, Kifayatuul Akhyar, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 144
[7] Sayyed al-Bakri al-Syatha, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 258-259
========================================
Mazhab Hanbali
========================================
Mazhab Hanbali
========================================
Aurat orang lelaki adalah apa yang ada antara
pusat dengan lututnya. Ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelumnya
dan yang dipakai oleh ulama Hanafi dan Syafi’i sebagai dalil mereka. Tetapi
pusat dan lutut bukan aurat. Ini berdasarkan Hadits riwayat Umru bin Shu’aib
yang telah disebutkan sebelumnya:
… Bahwa apa yang di bawah pusat hingga lutut
adalah aurat.
Dan Hadits Abu Ayyub al-Anshari:
Di bawah pusat dan pada kedua lutut adalah
aurat.242
Alasannya bahwa lutut adalah batas bukan aurat
seperti pusat. Orang khunsa musykil (seseorang yang memiliki dua organ kelamin)
yang tidak jelas apakah pria ataupun perempuan tidak d1wajibkan menutup aurat
karena tidak jelas sifatnya.
Di samping itu, agar shalat menjadi sah, menurut
yang lahir dari mazhab ini diwajibkan atas orang pria menutup salah satu
bahunya sekalipun dengan kain yang tipis yang bisa menjelaskan warna kulit
karena kewajiban menutup bahu berdasarkan Hadith:
Janganlah seseorang lelaki itu melakukan shalat
di dalam satu kain yang tidak ada sesuatu apa pun pada bahunya.24s
Larangan tersebut menunjukkan pengharaman dan
lebih diutamakan dari qiyas. Abu Daud meriwayatkan dari Buraidah:
Rasululah s.a.w. melarang seseorang dari
melakukan shalat di dalam selimut dan menutup bahu (seperti selimpang)
dengannya_
Sebaliknya, seseorang yang memiliki sesuatu yang
hanya dapat menutup apakah aurat saja atau baju saja, maka dia menutup auratnya
dan wajib shalat secara berdiri. Ini berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w.:
Jika kain itu luas, maka selisihkan dan ikatkan
kedua tepinya dan jika ia sempit, maka ikatkan kuat-kuat di pinggangnya.
Orang pria harus menutup auratnya dari pandangan
orang lain, bahkan dari penglihatannya sendiri ketika sedang salat. Jika
melihat auratnya melalui saku bajunya yang terbuka saat rukuk `atau sujud, maka
harus dikancingkannya atau sejenisnya agar tertutup. Ini karena perintah
menutup aurat itu adalah umum.
Begitu juga diwajibkan menutup aurat sekalipun
ketika sendirian atau di dalam gelap. Ini berdasarkan Hadits riwayat Bahzu bin
Hakim yang telah disebut sebelum ini yang berarti:
“Pelihara olehmu aurat kamu melainkan dari
istrimu atau hamba milikmu ….”
Tidak diwajibkan menutup aurat dengan tikar,
tanah, Lumpur di dalam parit, karena benda-benda itu tidak tetap dan di dalam
parit pula menyusahkan. Tidak terbatal shalat jika rentan sebagian kecil aurat.
Ini berdasarkan riwayat Abu Daud dari Umru bin Salmah yang rentan kain tutupnya
ketika sujud karena singkat. Jika rentan kebanyakan dari aurat, maka terbatal
shalat. Perbedaan apakah aurat yang rentan kecil atau besar adalah menurut
kebiasaan.
Sebaliknya, jika rentan kebanyakan dari aurat
dengan tidak sengaja dan ditutup pada saat itu juga tanpa berlalu waktu
panjang, maka tidak terbatal shalat. Ini di sebabkan pendek masa sama pendek
dengan ukuran. Tetapi jika berlalu waktu yang panjang atau sengaja dibuka, maka
terbatal shalat itu secara mutlak.
Aurat budak sama seperti aurat orang lelaki,
yaitu apa yang ada antara pusat dengan lutut menurut pendapat yang rajih. Ini
berdasarkan Hadits riwayat Umru bin Shuaib (Hadits marfuk yang telah disebutkan
sebelumnya yang berarti: “Dan apabila salah seorang dari kamu menikahkan hamba
perempuannya dengan hamba lelakinya atau orang upahannya, maka janganlah hamba perempuan
itu melihat auratnya.”
Aurat wanita yang sudah baligh (selain hamba)
adalah seluruh tubuhnya kecuali muka. Menurut pendapat yang rajih dari dua
riwayat di kalangan banyak ulama ‘, kedua telapak tangan juga terkecuali. Ini
berdasarkan firman Allah S.W.T:
Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan
tubuh mereka kecuali yang lahir darinya ….
Surah al-Nur 24:31
Ibn Abbas dan Aisyah r.a. berkata bahwa yang
dimaksud dengan yang lahir adalah muka dan kedua telapak tangan dan tidak bisa
intens selain muka dan kedua tangannya saat shalat.
Ini berdasarkan hadits-hadits yang telah
disebutkan sebelum ini menurut pendapat ulama Syafi’i.
Dalil yang mewajibkan menutup kedua kaki adalah
Hadits riwayat Ummu Salamah yang artinya: “Aku bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah orang perempuan shalat
dengan memakai baju dan tudung kepala tanpa sarung? ‘” Beliau menjawab:
Ya, jika bajunya labuh, maka tutupilah belakang
kakinya-146
Hadits tersebut menunjukkan wajib menutup kedua
kaki karena daerah yang tidak bisa dibuka saat berihram haji dan umrah, maka
tidak bisa juga diungkapkan ketika shalat seperti kedua betis.
Memadai untuk orang perempuan menggunakan
pakaian yang cukup untuk menutup bagian yang wajib saja. Ini berdasarkan Hadits
riwayat Ummu Salamah yang tersebut tadi. Tetapi dianjurkan melakukan shalat di
dalam baju yang labuh yang dapat menutup kedua kakinya dan tudung kepala yang
bisa menutup kepala dan tengkuk dan selendang yang diselimuti dari pada baju.
Hukum rentan aurat perempuan, selain muka dan
kedua telapak tangan, baik kecil atau besar adalah sama hukumnya dengan kasus
orang pria seperti yang telah dibahas kan sebelum ini. Aurat wanita di depan
orang pria muhrimnya adalah seluruh tubuh kecuali muka, tengkuk, kedua tangan,
kaki dan betis.
Sebagaimana pendapat ulama ‘Syafiei ini, ulama
Hanbali mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita sehingga muka dan kedua telapak
tangan, di luar shalat, adalah aurat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah yang
telah disebutkan sebelumnya yang berarti: “Orang perempuan adalah aurat.” Diharuskan
intens aurat untuk berobat, sendirian di kamar air, bersunat, untuk mengetahui
pencapaian umur baligh, untuk mengetahui dara dan bukan dara dan cacat.
Aurat wanita Islam (selain hamba) di hadapan
orang perempuan kafir menurut pendapat ulama Hanbali adalah sama seperti
auratnya di hadapan orang pria muhrim, yaitu apa yang ada di antara pusat
dengan lutut. Menurut pendapat jumhur, seluruh tubuh kecuali yang rentan ketika
melakukan pekerjaan rumah.
Penyebab perselisihan adalah penafsiran untuk
ayat al-Qur’an dalam Surah al-Nur, yaitu firman Allah SWT:
Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan
tubuh mereka, melainkan kepada suami mereka, … atau perempuan-perempuan Islam
…. Surah al-Nur 24:31
Menurut pendapat ulama Hanbali dan para ulama
‘lain, ganti nama bihinna (mereka) mencakup orang perempuan secara umum tanpa
perbedaan antara Islam dengan kafir. Justru itu, harus untuk orang perempuan
Islam memperlihatkan perhiasan tubuhnya kepada orang perempuan kafir, sama
dengan apa yang harus baginya memperlihatkan kepada orang perempuan Islam.
Menurut pendapat jumhur ganti nama bihinna di
sini adalah khusus untuk orang perempuan Islam saja, yaitu khusus untuk
persahabatan dan persaudaraan Islam. Justru itu, tidak harus untuk orang
perempuan Islam memperlihatkan apa pun dari perhiasan tubuhnya kepada orang
perempuan kafir.247
Jelas kepada kita bahwa pendapat ulama Hanbali
dan ulama Hanafi adalah lebih utama karena ia bersepakat dengan Hadits yang
menyuruh anak-anak yang berumur tujuh tahun untuk shalat dan dipukuli ketika
meningkat umur 10 tahun jika tidak shalat.
Bagian Aurat Terpisah dari Tubuh Badan
Menurut pendapat ulama Hanafi dan Syafi’i,
dilarang melihat aurat pria apakah bagian yang menjadi aurat itu masih sedaging
dengan tubuh atau sudah terpisah dari tubuh seperti rambut, lengan ataupun
paha.
Menurut pendapat ulama Hanbali bagian aurat yang
terpisah dari tubuh tidak diharamkan melihatnya karena hilang kehormatannya
saat terpisah.
Menurut pendapat ulama Maliki harus melihat
bagian aurat yang sudah terpisah dari tubuh ketika pemiliknya masih hidup.
Tetapi dilarang melihatnya sesudah mati sama seperti bagian aurat yang masih
sedaging dengan tubuh.
Suara Orang Perempuan
Menurut pendapat jumhur, suara perempuan tidak
dianggap aurat, karena para sahabat mendengar suara istri-istri Nabi Muhammad
saw untuk mempelajari hukum-hukum agama. Tetapi dilarang mendengar suaranya
yang berbentuk lagu dan irama sekalipun bacaan al-Qur’an, karena dikhawatirkan
akan menimbulkan fitnah.
SUMBER FIQIH 4 MADZHAB
BISA JUGA DI BUKA DI KAJIAN FIQIH MBAH LALAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar